Generasi Anhistoris Oleh: Muh Fitrah Yunus “Larutkan cakrawala dalam dirimu, Jangan kau larutkan dirimu dalam cakrawala” Nampaknya tak ada kesadaran bahwa aktivitas-aktivitas pendukung seperti lembaga-lambaga mahasiswa, gerakan mahasiswa cukup punya andil meng-upgrade kualitas diri sebagai seorang mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75% mahasiswa UMY 2008 mengambil sikap apatis dengan lembaga-lembaga kampus yang tersedia. Tidak adanya kesadaran mahasiswa ditimbulkan oleh adanya lingkungan kampus yang tak mendukung. Lingkungan kampus dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya fasilitas-fasilitas kampus yang kurang memadai dan dosen-dosen yang tak mendukung mahasiswanya untuk aktif berorganisasi. Namun, saya akan menggaris bawahi dosen-dosen di atas. Sangat ironis jika seorang dosen hanya menginstruksikan mahasiswanya untuk masuk kelas saja tanpa menimbang sesuatu yang sebenarnya bermanfaat bagi mahasiswa. Jika terjadi hal itu maka tak salah mahasiswa-mahasiswi level di atas adalah generasi anhistoris yang sebetulnya tak ada di lembaran-lembaran sejarah kemerdekaan bangsa. Walau sejarah telah berlalu dan kehidupan mengalami transformasi, tapi yang terjadi hanyalah accident transformation. Perubahan-perubahan yang ingin dicapai hanya menjadi euforia dan tak lebih hanya sekedar wacana tanpa praksis. Menunggu momentum adalah kerjaan mahasiswa seperti ini karena sebuah realitas hidup yang terbangun menjadi manusia kontraktif. Semua serba kontrak tanpa mengetahui hakikat seorang mahaiswa historis yang sebetulnya akan membawa ke masa depan lebih baik. Ironisnya, tak ada lagi status persatuan antar mahasiswa, melainkan persatuan terjalin jika kontrak materialistis terjadi. Dan begitupula kondisi dosen-dosen yang tak mengerti begitu penting organisasi (lembaga kampus) dan organisasi pergerakan. Segalanya serba kontrak yang terjalin antara dosen dan mahasiswanya. Mahasiswa menjadi bulan-bulanan dosen. Bayar biaya kuliah, diktat yang sangat mahal adalah kerjaannya tanpa membimbing untuk aktif di organisasi. Pasca kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI, Bung Karno menyatakan Revolusi belum selesai. Zaman reformasi sekarang ini sepertinya ada perasaan yang kurang enak oleh mahasiswa (apatis) dengan kata-kata revolusi. Revolusi seakan kata dakwah dalam pengajian- pengajian yang menakut-nakuti para pendengarnya. Banyak yang mengakui bahwa kata “revolusi” identik dengan ekstrimisme dan ketegangan politik yang menyeret mahasiswa dalam penjara dan kematian. Penjara konyol dan mati konyol. Mahasiswa tak dapat lagi dibedakan mana heroes dan villains. Tapi sebenarnya bukan itu. Revolusi hanya sebuah kata pembangkit semangat mahasiswa agar mampu mempengaruhi policy makers di pemerintahan. Ekstrimisme terjadi hanya karena seorang oknum yang sengaja melakukannya. Oleh karenanya, sosialisasi nasionalisme dan kebangsaan lewat oganisasi-organisasi (lembaga/pergerakan) harus dibangun sejak dini. Sosialisasi itu sebaiknya lewat universitas yang tak lain adalah dosen pengajar. Tak harus kita melihat jika terjadi disorientasi mahasiswa yang ditandai dengan ekstrimisme menyalahkan gerakan-gerakan mahasiswa dan melarang untuk aktif. Tentu generasi-generasi sekarang harus menjadi hero tak berideologi ekstrimist dan generasi tak ditelan oleh sejarah yang berarti generasi-generasi anhistoris. Muh Fitrah Yunus Ketua Umum IMM Fisipol |