Minggu, 01 Maret 2009

Opinion

Respect for Humankind
Loving and respecting humanity merely because they are human is an expression respect for the Almighty Creator. The order side of the coin, loving and showing respect to only those who think the same as one thinks, is nothing but egotism and self-worship. More than this, it is irreverent and self conceited behavior to hurt the feelings of others who may not think exactly as we think, But who still are on the same main road with us in their thoughts and vision.
We dream of generation who will embrace and build the future upon interpreting problems not according to the sources or reasons from which they arise, but we respect to their ideals. If we are passengers who are on different path and using different strategies, but all heading for the same destination, then why should we defame the others who are with us on this sacred journey that has such a lofty goal? The circumstances that will shape humanity in the future, in particular current world affairs, are forcing us to act with utmost care and alertness; in fact, they are forcing us to do so to such an extent that any decision hastily taken for temporary measures will result in errors that have no compensation. The architects of the future are obliged to build their world on the foundations of what human love and respect stand for and what they appear to be.
With its many dimensions, the modern world has pushed humanity into many dark alleys. And we have come face to face with many problems, but they are extremely slippery and inconsistence, and in due proportion the outcomes are full of contradictions. There are thousands of Khidrs who are committed to fetch the water of life from mount Qaf for humanity, but none of them posses any sign of the elixir of immortality. Despite all the efforts of these peoples who are “apostles-to-be” respect for human soul has been severely challenged by real dangers.
We have struggled for many years in this way; nevertheless, we have not accomplished any synthesis that will constitute the pillars of tomorrow. This has indeed been impossible. Our feelings and thought have promised and brought about discrete things, and we were like musicians with a broken record and incomplete composition, swaying from one door to another, looking for a producer. When every individual denies all the other truths because of the portion of truth which they hold in their hands, and when they compel others to stick to their respective portions, will it ever be possible to have ideas line up one after another, to attain new syntheses, or to discover remedies that save? Can this ever be possible while some are harassing others with accusation of unbelief and sinning, or even physically assaulting them?
The present situation that we have reached today is very dramatic and thought-provoking. Those who walk side-by-side in the past are strangers to one another today. The truths and untruths has been shifted, in accordance with group preference, from their foundational pillars to rest on slippery rails. Under such chaotic conditions, it is impossible to discern either be loftiness of the goal or the differences f the means to attain it.
No matter how charming and enchanting the atmosphere that catches the eyes or fills the heart is there is no permission for us to forget the truth to which we are committed. We cannot stay alien toward each other while we are in the same camp. We do not have a monopoly of the good and the beautiful; therefore we cannot be allowed to wage a war with the passengers who are heading to the same destination but on a different path. We may have some criticism about the path and system of someone who thinks differently from us this is expression of mind that operate in different ways. But, if we are striving to reach the same horizon, we must at least respect the way other think. This is a prerequisite of heading in the same direction, Sharing the same belief, utilizing the same terminology, and finally and above all, of respecting the sacred meaning glorified by god almighty. Let us be respectful to humankind! Let us respect the exalted truths they possess. Let us love them because of their Almighty Creator. If we can raise a community upon this perspective, people will eventually recover and they will manage to compensate for whatever they have lost.
By: Fitrah

RESENSI




What Would Machiavelli Do?


Tentunya setiap orang mempunyai sebuah keinginan (ambition) di tengah-tengah sebuah kehidupan yang tidak kita ketahui akan bagaimana kelak nasib semua manusia. Ada yang ingin menjadi orang yang besar, berkuasa, kaya raya dan apapun itu. Keinginan-keinginan yang ingin dicapai itu tentunya harus melalui sebuah proses yang mana proses itu tidak semudah dan segampang yang kita bayangkan. Dalam mencapai keinginan itu kita harus memikirkan terlebih dahulu bagaimana strategi untuk mendapatkannya dan apakah cara atau strategi yang kita lakukan itu sudah baik dan sesuai dengan tuntunan agama atau kode etik bermasyarakat dewasa ini.
Buku berjudul What Whould Machiavelli Do? Ini, mengantarkan manusia agar manusia dapat melakukan segala cara dalam mendapatkan semua keinginan dan ambisinya, atau dapat diistilahkan sebagai tujuan menghalalkan sebuah cara. Kata-kata menghalalkan sebuah cara ketika kita simak secara seksama adalah kata-kata yang tidak cocok bagi sebagian besar manusia di dunia ini, terlebih seorang ustad atau ustadzah. Tapi sebagian manusia sudah banyak yang menggunakan cara ini dan sangat menjanjikan sebuah kesuksesan dan kekuasaan. Ketika kita bertanya apakah yang akan dilakukan oleh Machiavelli? Jawabannya adalah dia akan mengincar kemenangan. Bagaimana mendapatkannya? Hampir dalam semua hal adalah: apa pun yang perlu.titik.
Di dalam buku karangan Stanley Bing ini banyak memberikan contoh-contoh yang mengarah kepada pemikiran sang pemikir amoral modern pertama itu. Seorang manajer muda bernama Bob sedang menghadapi masalah dengan bawahannya. Beban kerja dalam perusahaan mereka cukup berat, dan mengingat hari jum’at sudah semakin dekat, jelaslah bahwa tugas-tugas yang wajib diselesaikan bisa jadi terpaksa mulur sampai akhir pekan. Sayangnya wakil Bob, Mary, sudah dijadwalkan akan mengambil cuti panjang pada hari Sabtu itu juga. Andaikata Mary pergi, hidup akan menjadi sangat sulit bagi Bob, sebab ada permainan golf yang sudah ia tunggu-tunggu sejak akhir pekan yang lalu.
“Nggak tahulah saya,” desah Bob. “Saya betul-betul stress berat nih. Kalau saya ga bisa memasukkan delapan belas, tekanan minggu depan mungkin nggak sanggup sayas tanggung lagi. Tapi kalau ga begini, si Mary kasihan.”
Bos Bob, Ned, sudah lama sekali mendapatkan Marcedes pertamanya-itu pun bukan Baby Benz 350, melainkan sebuah seri 500 yang melebihi lebar jalur jalan itu dan yang menggerus aspal jika lari pada kecepatan 75 mil per jam. Ned dengan sigap dan lumayan blak-blakan berusaha menanamkan inspirasi ke dalam benak Bob: “Bob, coba saya Bantu kamu. Jawablah pertanyaan ini. Andaikata Maschiavelli ada di sini sekarang, apa yang ia lakukan?”
Bob berfikir sejenak, dan kemudian, dengan kerut-merut menghilang dan wajah berubah total menjadi ceria seperti sedia kala, ia memberikan jawaban yang menyentak: “Dia akan berpura-pura lupa tentang jadwal liburan Mary, melemparkan setumpuk pekerjaan ke atas punggungnya pada menit terakhir, dan menunggu apakah Mary masih nekad dan punya nyali untuk meninggalkankantor dengan kondisi seperti ini. Tentu saja, mana mungkin dia berani.”
Akhirnya semua berjalan dengan sempurna-Mary menjadwalkan kembali liburannya. Bob bisa kembali bermain golf (sekalipun dia beberapa kali dibuat jengkel oleh telepon selulernya yang memanggil-manggil selama dia di lapangan), dan bos Bob bahagia sebab semua pekerjaan rampung sementara dia sendiri asyik main ski di Gstaad.
Ini adalah sebuah contoh bagaimana pemikiran-pemikiran sang pemikir amoral pertama itu digunakan orang-orang pada umumnya. Dan masih banyak lagi contoh yang mungkin pernah kita lakukan di kehidupan kita sehari-hari.
Di dalam buku karangan Stanlay Bing ini, hampir di setiap tulisan memberikan gambaran pemikiran-pemikiran Machiavelli yang dirasa sangat kontroversial di mata manusia.
Di negara seperti Indonesia mungkin banyak sekali kita dapatkan orang –orang yang seperti Machiavelli, atau bisa disebut Machiavellian. Koruptor-koruptor negara yang menghabiskan sekian trilliun uang negara dapat disebut Machiavellian, karena hampir semua tindakannya mengarah kearah sang pemikir amoral itu. menghalalkan segala cara untuk dapat hidup mewah tidak mementingkan orang-orang miskin yang tidak dapat hidup layak, atau dalam arti lain bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Kita pun secara tidak langsung sering melakukan perbuatan menghalalkan segala cara. Ketika seorang politikus kejam ingin dipuji oleh lawan politiknya, seorang senior sudah ingin dikatakan sebagai sang penguasa diatas para juniornya dan lain sebagainya, maka mereka biasanya secara langsung maupun tidak langsung melakukan sebuah tindakan amoral, menghalalkan segala cara agar dapat menduduki lawan politiknya maupun para junior-juniornya. Di tingkatan SD, SMP, SMA maupun di perguruan tinggi.Di dalam buku What Would Machiavelli Do? Ini, memberikan 45 hal apa saja yang akan dilakukan oleh Machiavelli. Selamat membaca!

Cukup dibaca, tapi jangan ditiru.....!


Ketua Umum IMM Sospol

Sabtu, 28 Februari 2009

OPINI

Generasi Anhistoris
Oleh: Muh Fitrah Yunus

“Larutkan cakrawala dalam dirimu,
Jangan kau larutkan dirimu dalam cakrawala”

Nampaknya tak ada kesadaran bahwa aktivitas-aktivitas pendukung seperti lembaga-lambaga mahasiswa, gerakan mahasiswa cukup punya andil meng-upgrade kualitas diri sebagai seorang mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75% mahasiswa UMY 2008 mengambil sikap apatis dengan lembaga-lembaga kampus yang tersedia.
Tidak adanya kesadaran mahasiswa ditimbulkan oleh adanya lingkungan kampus yang tak mendukung. Lingkungan kampus dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya fasilitas-fasilitas kampus yang kurang memadai dan dosen-dosen yang tak mendukung mahasiswanya untuk aktif berorganisasi. Namun, saya akan menggaris bawahi dosen-dosen di atas.
Sangat ironis jika seorang dosen hanya menginstruksikan mahasiswanya untuk masuk kelas saja tanpa menimbang sesuatu yang sebenarnya bermanfaat bagi mahasiswa. Jika terjadi hal itu maka tak salah mahasiswa-mahasiswi level di atas adalah generasi anhistoris yang sebetulnya tak ada di lembaran-lembaran sejarah kemerdekaan bangsa.
Walau sejarah telah berlalu dan kehidupan mengalami transformasi, tapi yang terjadi hanyalah accident transformation. Perubahan-perubahan yang ingin dicapai hanya menjadi euforia dan tak lebih hanya sekedar wacana tanpa praksis.
Menunggu momentum adalah kerjaan mahasiswa seperti ini karena sebuah realitas hidup yang terbangun menjadi manusia kontraktif. Semua serba kontrak tanpa mengetahui hakikat seorang mahaiswa historis yang sebetulnya akan membawa ke masa depan lebih baik. Ironisnya, tak ada lagi status persatuan antar mahasiswa, melainkan persatuan terjalin jika kontrak materialistis terjadi. Dan begitupula kondisi dosen-dosen yang tak mengerti begitu penting organisasi (lembaga kampus) dan organisasi pergerakan. Segalanya serba kontrak yang terjalin antara dosen dan mahasiswanya. Mahasiswa menjadi bulan-bulanan dosen. Bayar biaya kuliah, diktat yang sangat mahal adalah kerjaannya tanpa membimbing untuk aktif di organisasi.
Pasca kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI, Bung Karno menyatakan Revolusi belum selesai. Zaman reformasi sekarang ini sepertinya ada perasaan yang kurang enak oleh mahasiswa (apatis) dengan kata-kata revolusi. Revolusi seakan kata dakwah dalam pengajian- pengajian yang menakut-nakuti para pendengarnya. Banyak yang mengakui bahwa kata “revolusi” identik dengan ekstrimisme dan ketegangan politik yang menyeret mahasiswa dalam penjara dan kematian. Penjara konyol dan mati konyol. Mahasiswa tak dapat lagi dibedakan mana heroes dan villains.
Tapi sebenarnya bukan itu. Revolusi hanya sebuah kata pembangkit semangat mahasiswa agar mampu mempengaruhi policy makers di pemerintahan. Ekstrimisme terjadi hanya karena seorang oknum yang sengaja melakukannya.
Oleh karenanya, sosialisasi nasionalisme dan kebangsaan lewat oganisasi-organisasi (lembaga/pergerakan) harus dibangun sejak dini. Sosialisasi itu sebaiknya lewat universitas yang tak lain adalah dosen pengajar. Tak harus kita melihat jika terjadi disorientasi mahasiswa yang ditandai dengan ekstrimisme menyalahkan gerakan-gerakan mahasiswa dan melarang untuk aktif. Tentu generasi-generasi sekarang harus menjadi hero tak berideologi ekstrimist dan generasi tak ditelan oleh sejarah yang berarti generasi-generasi anhistoris.

Muh Fitrah Yunus
Ketua Umum IMM Fisipol

Selasa, 13 Januari 2009

Opini

Hukum Internasional dan Kebrutalan Israel

Hampir seminggu serangan Israel ke jalur Gaza membuat guncang dunia internasional. Sudah lebih 700 warga tak berdosa tewas akibat serangan itu. fasilitas-fasilitas sepreti rumah sakit, sekolah-sekolah, universitas, masjid juga tak terelakkan dari gempuran pasukan Israel.
Hamas dan Israel sejak dulu tak pernah akur karena konflik yang terjadi antara keduanya tak kunjung usai. Walau ada solusi konflik tapi tetap mengalami kebuntuan diplomasi. Perpanjangan gencatan senjata tak dapat lagi disetujui, saling tuding-menuding siapa yang salah terjadi di kedua belah pihak tanpa mempertimbangkan berapa banyak warga sipil yang tewas akibat ulah Hamas dan Israel.
Seluruh dunia mengecam konflik khususnya serangan-serangan yang dilancarkan Israel. Aktivis-aktivis NGO, mahasiswa, parpol turun ke jalan memprotes tindakan tersebut. Tapi watak Israel yang keras kepala tak kunjung menghentikan kebrutalannya.
Israel harus tetap didesak agar menarik diri dan menghentikan serangan. Bagaimanapun tuding-menuding yang terjadi, tetap dunia harus mengecam tindakan Israel. Pengalaman masa lalu meyakinkan masyarakat dunia bahwa serangan demi serangan hanya sebuah motif ingin menghancurkan dan menduduki bumi Palestina.
Alasan-alasan yang disampaikan Israel jangan sampai membuat kontras permasalahan yang akan mengakibatkan saling tuding antar negara yang mendukung Israel versus negara pendukung Hamas dan Palestina. Jelas, permasalahan tak akan selesai tetapi akan semakin runyam. “Ingin membela diri“ hanya satu kalimat kaum konservatif Israel yang akan membunuh dan menambah jumlah korban tak berdosa.
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) juga seakan tak dapat berbuat apa-apa. “Hukum Internasional“ tak berlaku bagi Israel. PBB hanya mencoba melakukan intervensi tapi hanya pada bagian pinggiran konflik saja, PBB tak dapat meyakinkan Israel agar menyelesaikan pertempuran yang memakan banyak korban ini. Ini sama halnya dengan konflik-konflik antar bangsa sebelumnya seperti konflik Amerika dan Afghanistan yang juga melibatkan Israel saat itu, dimana PBB tak dapat melakukan intervensi memberlakukan hukum terhadap Amerika dan Israel. “Hukum Internasional“ seakan dikebiri.
Dalam menyikapi hal ini maka harus ada sebuah resolusi konflik baru yang dilakukan oleh PBB, membuat dan memberlakukan hukum baru agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. PBB secepatnya menjadi mediator negosiasi politik antara Israel dan Hamas. Pemberlakuan hukum efektif dan tegas akan mendorong ke arah pembentukan perdamaian di kedua belah pihak.
PBB tidak akan dapat berhasil melakukan negosiasi politik apabila masih menunggu hingga korban yang berjatuhan tak terhitung jumlahnya. Semakin lama mengambil keputusan maka semakin hitam sejarah perjalanannya di mata masyarakat dunia. Sebelum lebih banyak lagi korban maka secepatnya PBB melakukan offensive diplomacy di tengah-tengah Israel dan Hamas. Sebuah dialog harus terbangun di kedua belah pihak.
Disamping gencarnya pertempuran antara Israel dan Hamas, menyebabkan banyaknya rakyat sipil tewas. Dalam menyikapinya, maka negara-negara di dunia harus mengambil langkah intensif turun langsung ke jantung konflik dengan melakukan intervensi kemanusiaan, bantuan medis dan mengamankan warga sipil dari area konflik. Bukan membantu kelompok Hamas maupun warga Palestina menggempur Israel dengan dalih berjihad di jalan Allah. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah-masalah baru.
Problem solving yang diambil PBB juga harus menjadi penyelesaian akhir konflik yang mengikat kedua belah pihak. Jangan sampai terjadi konflik tarik-ulur yang tak pernah selesai. Disamping negara dan masyarakat dunia semakin prihatin, Palestina akan terus menjadi obyek sasaran dan serangan yang mempertontonkan kekuatan besar melawan kekuatan kecil.
Keras Kepala
Sejauh ini Israel tetap melakukan serangan walau DK PBB telah membuat resolusi konflik. Israel tak pernah mahu tahu keputusan apapun yang dibuat karena tertutupnya mata dan hati. Hamas yang tak mahu mengalah dan menjadi sebab berlanjutnya perang menjadi alasan utama Israel tak mahu menghentikan serangan ke jalur Gaza.
Hal ini juga diperparah oleh kelompok Hamas sendiri. Merasa tak akan kalah dengan Israel, Hamas tetap ingin melanjutkan peperangan dan optimisme dapat mengalahkan Israel menjadi kata perjuangan baginya. Sesuatu yang tak pernah dipertimbangkan adalah korban demi korban tak bersalah berjatuhan.
Melihat hal ini mengakibatkan diplomasi tak lagi menjadi solusi bagi terciptanya perdamaian. Seperti pemahaman kaum realis bahwa “perang” sebagai satu-satunya jalan mewujudkan perdamaian. Akhirnya nilai-nilai kemanusiaan pun dikorbankan. Padahal, memahami sebuah resolusi dibutuhkan nilai-nilai humanis.
Hamas pun menolak resolusi. Seperti kata Raafat Morra, pejabat Hamas, bahwa isi resolusi bukan untuk kepentingan rakyat Palestina. “Resolusi ini tidak sesuai dengan kepentingan terbaik rakyat Palestina. Resolusi ini tidak memperhitungkan aspirasi rakyat Palestina” (Kompas;10/1/09).
Indonesia sebagai negara Islam harus mengambil sikap melakukan intervensi bertubi-tubi ke DK PBB dan Israel. Gabungan negara-negara yang menolak kebrutalan Israel menjadi kekuatan utama menghentikan serangan. Informasi terakhir bahwa konflik meluas melibatkan negara-negara bagian seperti Lebanon. Lebanon menjadi musuh Israel sejak klaim adanya penembakan roket ke Israel utara oleh Lebanon.
Permusuhan antara Israel dan negara lain seperti Iran juga pernah terjadi. Iran dianggap mengembangkan senjata nuklir dan mengancam negara-negara tetangganya, termasuk Israel. Disamping Iran, Suriah dan Hezbollah juga terlibat permusuhan dengan Israel sehingga Israel dapat dikenal sebagai negara pencipta permusuhan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa negara-negara ini tidak mengepung, memukul mundur Israel dari Palestina? Tampaknya Perang Dunia ke III akan dimulai.

Ketum IMM Sospol UMY

Selasa, 06 Januari 2009

Opini

Privatisasi sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal

Ada banyak definisi tentang privatisasi, secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan mengubah status kepemilikan usaha-usaha milik besama menjadi milik indipidu/ perorangan. Kebijakan privatsiasi selalu dihubungakan dengan sumber ekonomi yang sebelumnya adalah milik public, seperti tanah, air udara, atau milik bersama lainnya seperti perusahaan negara, yang dikelolah secara bersama-sama dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, diubah statusnya menjadi milik pribadi/ perorangan, badan usaha swasta, yang dikelola untuk kepentingan bisnis atau mencari keuntungan.

Privatisasi disebabkan oleh banyak factor, baik yang berasal dari dalam negara itu sendiri maupuan factor-faktor yang berasal dari luar. Pada negara-negara terbelakang privatisasi lebih banyak disebabkan oleh factor-faktor yang berasal dari luar, baik dalam bentuk tekanan-tekanan ekonomi maupun tekanan politik. Tekanan dari luar tersebut, berhubungan dengan kebijakan rezim global, yang ingin mempraktekkan suatu system ekonomi politik neoliberal sebagai suatu bangunan globalisasi ekonomi saat ini. Kebijakan rezim global ini dijalankan melalui berbagai program pinjaman kepada negara-negara miskin yang disertai dengan berbagai persyaratan yang isinya adalah instrument-instrumen ekonomi neoliberal, salah satunya adalah privatisasi.

Bagi negara-negara berkembang, kesediaan mereka melakukan privatsiasi disebabakan oleh masalah-masalah internal yang rumit seperti tekanan anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan politik, tekanan dalam nilai tukar mata uang dan tekanan dalam kebijakan makro ekonomi lainnya, besarnya kebutuhan akan investasi dari luar (foreign direct investement), yang mengharuskan adanya aliran modal dari luar untuk mengatasi masalah-masalah fiscal dan moneter sebagai konsekuensi dari adanya perdagangan internasional. Sementara aliran modal (uang) keluar pada saat yang sama terjadi dalam jumlah besar, baik melalui cicilan hutang, pembayaran bunga, transper keuntungan dan repatriasi asset berlangsung secara tidak terkendali. Kesemuanya adalah konsekuensi dari “kekebasan orang, uang dan barang untuk bergerak” yang menjadi dasar utama liberalisasi ekonomi.

Apa yang menjadi motifasi utama privatsiasi adalah bagimana memindahkan kekayaan ekonomi negara-negara miskin, ke tangan pemilik-pemilik modal besar, yang notabene adalah penguasa ekonomi dunia saat ini. Lembaga-lembaga keuangan internasioan dan negara-negara maju adalah kaki tangan dari pemilik-pemilik modal tersebut dalam mencapai tujuannya. Negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional tersebut bekerja untuk mensukseskan rencana-rencana modal, mengatasi hambatan-hambatan politik dan hukum yang dihadapi dalam rangka penguasaan sumber-sumber ekonomi tersebut.

Bagi pemerintahan negara-negara miskin, kesediaan mereka melakukan privatisasi di dasarkan pada pertimbangan keuntungan jangka pendek. Privatsiasi meningkatkan penerimaan pemerintah dalam bentuk valuta asing. Penerimaan tersebut merupakan sumber keuangan yang menolong pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek, terutama berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam skala makro ekonomi privatisi meningkatkan investasi modal yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.

Apa yang diperoleh oleh pemerintah, berbeda dengan akibat yang harus ditanggung rakyat. Berpindahnya asset-aset dan sumber-sumber ekonomi yang sebelumnya milik public ke tangan-tangan para pebisnis asing, menyebabkan semakin rendahnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar pada tingkat harga yang terjangkau. Akibatnya, meskipun secara makro ekonomi, terjadi pertumbuhan ekonomi yang besar di negara tersebut, akan tetapi pada saat yang sama tingkat kemiskinan dan pengangguran terus meluas. Peningkatan pengangguran disebabkan karena privatsiasi khsusnya yang berkaitan dengan persuahaan negara, selalu diiringi dengan praktek efesiensi dalam bentuk pengurangan jumlah penggunaan tenaga kerja.

Kebiajakan privatisiasi tampak sebagai landasan bagi ekonomi neoliberal, suatu tindakan untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab negara dalam perekonomian. Dalam sistem ini, negara tidak diperkenankan lagi mengambil peranan dalam menguasai sumber-sumber ekonomi, menjalankan kegiatan produksi dan menyediakan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyatnya. Seluruh kegiatan ekonomi harus berlangsung dalam system pasar, yang didasarkan pada system persaingan penuh tanpa campur tangan negara. Terlibatnya negara dalam urusan ekonomi dianggap sebagai factor yang mendistorsi system pasar.


Salamuddin Daeng
Editing By: Afirouzz
Penulis adalah program officer di Institute for Global Justice (IGJ)
Sumber IGJ

Gado-Gado IMM Sospol UMY



Mahasiswa Jangan Dinina-Bobokkan dengan Lobi

Sebuah kenistaan ketika mahasiswa mahasiswi sekarang datang kekampus berpakaian rapi duduk di lobi, terdiam menunggu waktu kuliah dan dinina-bobokkan lobi melupakan apa fungsi lobi sebenarnya.

Lobi dikonstruksi tidak hanya tempat menunggu waktu kuliah masuk melainkan memanfaatkannya dengan mengadakan aktivitas pendukung kuliah seperti berdiskusi ceria. Pemanfaatan-pemanfaatan substantif semakin memperlihatkan bahwa keadaan lobi tidak hanya tempat transit seperti pesawat-pesawat yang akan terbang dari satu daerah ke daerah lain.
Kekurangpahaman mahasiswa atas fungsi lobi mendudukkannya pada level mahasiswa mondar mandir mengecek dosen apakah sudah masuk, belum atau tidak. Dan pahitnya lagi mereka hanya menempatkan dirinya pada level mahasiswa jadi-jadian (palsu) yang tak tahu apa fungsi-fungsi kantor-kantor, lembaga kampus wa bil khusus lobi-lobi yang tersedia.
Mungkin kita pernah mendengar muslim KTP. Ibarat wujud mahasiswa jadi-jadian mirip dengan muslim KTP.

By: Ketum IMM Sospol
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
KOMFAK SOSPOL