Selasa, 13 Januari 2009

Opini

Hukum Internasional dan Kebrutalan Israel

Hampir seminggu serangan Israel ke jalur Gaza membuat guncang dunia internasional. Sudah lebih 700 warga tak berdosa tewas akibat serangan itu. fasilitas-fasilitas sepreti rumah sakit, sekolah-sekolah, universitas, masjid juga tak terelakkan dari gempuran pasukan Israel.
Hamas dan Israel sejak dulu tak pernah akur karena konflik yang terjadi antara keduanya tak kunjung usai. Walau ada solusi konflik tapi tetap mengalami kebuntuan diplomasi. Perpanjangan gencatan senjata tak dapat lagi disetujui, saling tuding-menuding siapa yang salah terjadi di kedua belah pihak tanpa mempertimbangkan berapa banyak warga sipil yang tewas akibat ulah Hamas dan Israel.
Seluruh dunia mengecam konflik khususnya serangan-serangan yang dilancarkan Israel. Aktivis-aktivis NGO, mahasiswa, parpol turun ke jalan memprotes tindakan tersebut. Tapi watak Israel yang keras kepala tak kunjung menghentikan kebrutalannya.
Israel harus tetap didesak agar menarik diri dan menghentikan serangan. Bagaimanapun tuding-menuding yang terjadi, tetap dunia harus mengecam tindakan Israel. Pengalaman masa lalu meyakinkan masyarakat dunia bahwa serangan demi serangan hanya sebuah motif ingin menghancurkan dan menduduki bumi Palestina.
Alasan-alasan yang disampaikan Israel jangan sampai membuat kontras permasalahan yang akan mengakibatkan saling tuding antar negara yang mendukung Israel versus negara pendukung Hamas dan Palestina. Jelas, permasalahan tak akan selesai tetapi akan semakin runyam. “Ingin membela diri“ hanya satu kalimat kaum konservatif Israel yang akan membunuh dan menambah jumlah korban tak berdosa.
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) juga seakan tak dapat berbuat apa-apa. “Hukum Internasional“ tak berlaku bagi Israel. PBB hanya mencoba melakukan intervensi tapi hanya pada bagian pinggiran konflik saja, PBB tak dapat meyakinkan Israel agar menyelesaikan pertempuran yang memakan banyak korban ini. Ini sama halnya dengan konflik-konflik antar bangsa sebelumnya seperti konflik Amerika dan Afghanistan yang juga melibatkan Israel saat itu, dimana PBB tak dapat melakukan intervensi memberlakukan hukum terhadap Amerika dan Israel. “Hukum Internasional“ seakan dikebiri.
Dalam menyikapi hal ini maka harus ada sebuah resolusi konflik baru yang dilakukan oleh PBB, membuat dan memberlakukan hukum baru agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. PBB secepatnya menjadi mediator negosiasi politik antara Israel dan Hamas. Pemberlakuan hukum efektif dan tegas akan mendorong ke arah pembentukan perdamaian di kedua belah pihak.
PBB tidak akan dapat berhasil melakukan negosiasi politik apabila masih menunggu hingga korban yang berjatuhan tak terhitung jumlahnya. Semakin lama mengambil keputusan maka semakin hitam sejarah perjalanannya di mata masyarakat dunia. Sebelum lebih banyak lagi korban maka secepatnya PBB melakukan offensive diplomacy di tengah-tengah Israel dan Hamas. Sebuah dialog harus terbangun di kedua belah pihak.
Disamping gencarnya pertempuran antara Israel dan Hamas, menyebabkan banyaknya rakyat sipil tewas. Dalam menyikapinya, maka negara-negara di dunia harus mengambil langkah intensif turun langsung ke jantung konflik dengan melakukan intervensi kemanusiaan, bantuan medis dan mengamankan warga sipil dari area konflik. Bukan membantu kelompok Hamas maupun warga Palestina menggempur Israel dengan dalih berjihad di jalan Allah. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah-masalah baru.
Problem solving yang diambil PBB juga harus menjadi penyelesaian akhir konflik yang mengikat kedua belah pihak. Jangan sampai terjadi konflik tarik-ulur yang tak pernah selesai. Disamping negara dan masyarakat dunia semakin prihatin, Palestina akan terus menjadi obyek sasaran dan serangan yang mempertontonkan kekuatan besar melawan kekuatan kecil.
Keras Kepala
Sejauh ini Israel tetap melakukan serangan walau DK PBB telah membuat resolusi konflik. Israel tak pernah mahu tahu keputusan apapun yang dibuat karena tertutupnya mata dan hati. Hamas yang tak mahu mengalah dan menjadi sebab berlanjutnya perang menjadi alasan utama Israel tak mahu menghentikan serangan ke jalur Gaza.
Hal ini juga diperparah oleh kelompok Hamas sendiri. Merasa tak akan kalah dengan Israel, Hamas tetap ingin melanjutkan peperangan dan optimisme dapat mengalahkan Israel menjadi kata perjuangan baginya. Sesuatu yang tak pernah dipertimbangkan adalah korban demi korban tak bersalah berjatuhan.
Melihat hal ini mengakibatkan diplomasi tak lagi menjadi solusi bagi terciptanya perdamaian. Seperti pemahaman kaum realis bahwa “perang” sebagai satu-satunya jalan mewujudkan perdamaian. Akhirnya nilai-nilai kemanusiaan pun dikorbankan. Padahal, memahami sebuah resolusi dibutuhkan nilai-nilai humanis.
Hamas pun menolak resolusi. Seperti kata Raafat Morra, pejabat Hamas, bahwa isi resolusi bukan untuk kepentingan rakyat Palestina. “Resolusi ini tidak sesuai dengan kepentingan terbaik rakyat Palestina. Resolusi ini tidak memperhitungkan aspirasi rakyat Palestina” (Kompas;10/1/09).
Indonesia sebagai negara Islam harus mengambil sikap melakukan intervensi bertubi-tubi ke DK PBB dan Israel. Gabungan negara-negara yang menolak kebrutalan Israel menjadi kekuatan utama menghentikan serangan. Informasi terakhir bahwa konflik meluas melibatkan negara-negara bagian seperti Lebanon. Lebanon menjadi musuh Israel sejak klaim adanya penembakan roket ke Israel utara oleh Lebanon.
Permusuhan antara Israel dan negara lain seperti Iran juga pernah terjadi. Iran dianggap mengembangkan senjata nuklir dan mengancam negara-negara tetangganya, termasuk Israel. Disamping Iran, Suriah dan Hezbollah juga terlibat permusuhan dengan Israel sehingga Israel dapat dikenal sebagai negara pencipta permusuhan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa negara-negara ini tidak mengepung, memukul mundur Israel dari Palestina? Tampaknya Perang Dunia ke III akan dimulai.

Ketum IMM Sospol UMY

Selasa, 06 Januari 2009

Opini

Privatisasi sebagai Landasan Ekonomi Neoliberal

Ada banyak definisi tentang privatisasi, secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan mengubah status kepemilikan usaha-usaha milik besama menjadi milik indipidu/ perorangan. Kebijakan privatsiasi selalu dihubungakan dengan sumber ekonomi yang sebelumnya adalah milik public, seperti tanah, air udara, atau milik bersama lainnya seperti perusahaan negara, yang dikelolah secara bersama-sama dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, diubah statusnya menjadi milik pribadi/ perorangan, badan usaha swasta, yang dikelola untuk kepentingan bisnis atau mencari keuntungan.

Privatisasi disebabkan oleh banyak factor, baik yang berasal dari dalam negara itu sendiri maupuan factor-faktor yang berasal dari luar. Pada negara-negara terbelakang privatisasi lebih banyak disebabkan oleh factor-faktor yang berasal dari luar, baik dalam bentuk tekanan-tekanan ekonomi maupun tekanan politik. Tekanan dari luar tersebut, berhubungan dengan kebijakan rezim global, yang ingin mempraktekkan suatu system ekonomi politik neoliberal sebagai suatu bangunan globalisasi ekonomi saat ini. Kebijakan rezim global ini dijalankan melalui berbagai program pinjaman kepada negara-negara miskin yang disertai dengan berbagai persyaratan yang isinya adalah instrument-instrumen ekonomi neoliberal, salah satunya adalah privatisasi.

Bagi negara-negara berkembang, kesediaan mereka melakukan privatsiasi disebabakan oleh masalah-masalah internal yang rumit seperti tekanan anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan politik, tekanan dalam nilai tukar mata uang dan tekanan dalam kebijakan makro ekonomi lainnya, besarnya kebutuhan akan investasi dari luar (foreign direct investement), yang mengharuskan adanya aliran modal dari luar untuk mengatasi masalah-masalah fiscal dan moneter sebagai konsekuensi dari adanya perdagangan internasional. Sementara aliran modal (uang) keluar pada saat yang sama terjadi dalam jumlah besar, baik melalui cicilan hutang, pembayaran bunga, transper keuntungan dan repatriasi asset berlangsung secara tidak terkendali. Kesemuanya adalah konsekuensi dari “kekebasan orang, uang dan barang untuk bergerak” yang menjadi dasar utama liberalisasi ekonomi.

Apa yang menjadi motifasi utama privatsiasi adalah bagimana memindahkan kekayaan ekonomi negara-negara miskin, ke tangan pemilik-pemilik modal besar, yang notabene adalah penguasa ekonomi dunia saat ini. Lembaga-lembaga keuangan internasioan dan negara-negara maju adalah kaki tangan dari pemilik-pemilik modal tersebut dalam mencapai tujuannya. Negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional tersebut bekerja untuk mensukseskan rencana-rencana modal, mengatasi hambatan-hambatan politik dan hukum yang dihadapi dalam rangka penguasaan sumber-sumber ekonomi tersebut.

Bagi pemerintahan negara-negara miskin, kesediaan mereka melakukan privatisasi di dasarkan pada pertimbangan keuntungan jangka pendek. Privatsiasi meningkatkan penerimaan pemerintah dalam bentuk valuta asing. Penerimaan tersebut merupakan sumber keuangan yang menolong pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek, terutama berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam skala makro ekonomi privatisi meningkatkan investasi modal yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.

Apa yang diperoleh oleh pemerintah, berbeda dengan akibat yang harus ditanggung rakyat. Berpindahnya asset-aset dan sumber-sumber ekonomi yang sebelumnya milik public ke tangan-tangan para pebisnis asing, menyebabkan semakin rendahnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar pada tingkat harga yang terjangkau. Akibatnya, meskipun secara makro ekonomi, terjadi pertumbuhan ekonomi yang besar di negara tersebut, akan tetapi pada saat yang sama tingkat kemiskinan dan pengangguran terus meluas. Peningkatan pengangguran disebabkan karena privatsiasi khsusnya yang berkaitan dengan persuahaan negara, selalu diiringi dengan praktek efesiensi dalam bentuk pengurangan jumlah penggunaan tenaga kerja.

Kebiajakan privatisiasi tampak sebagai landasan bagi ekonomi neoliberal, suatu tindakan untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab negara dalam perekonomian. Dalam sistem ini, negara tidak diperkenankan lagi mengambil peranan dalam menguasai sumber-sumber ekonomi, menjalankan kegiatan produksi dan menyediakan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyatnya. Seluruh kegiatan ekonomi harus berlangsung dalam system pasar, yang didasarkan pada system persaingan penuh tanpa campur tangan negara. Terlibatnya negara dalam urusan ekonomi dianggap sebagai factor yang mendistorsi system pasar.


Salamuddin Daeng
Editing By: Afirouzz
Penulis adalah program officer di Institute for Global Justice (IGJ)
Sumber IGJ

Gado-Gado IMM Sospol UMY



Mahasiswa Jangan Dinina-Bobokkan dengan Lobi

Sebuah kenistaan ketika mahasiswa mahasiswi sekarang datang kekampus berpakaian rapi duduk di lobi, terdiam menunggu waktu kuliah dan dinina-bobokkan lobi melupakan apa fungsi lobi sebenarnya.

Lobi dikonstruksi tidak hanya tempat menunggu waktu kuliah masuk melainkan memanfaatkannya dengan mengadakan aktivitas pendukung kuliah seperti berdiskusi ceria. Pemanfaatan-pemanfaatan substantif semakin memperlihatkan bahwa keadaan lobi tidak hanya tempat transit seperti pesawat-pesawat yang akan terbang dari satu daerah ke daerah lain.
Kekurangpahaman mahasiswa atas fungsi lobi mendudukkannya pada level mahasiswa mondar mandir mengecek dosen apakah sudah masuk, belum atau tidak. Dan pahitnya lagi mereka hanya menempatkan dirinya pada level mahasiswa jadi-jadian (palsu) yang tak tahu apa fungsi-fungsi kantor-kantor, lembaga kampus wa bil khusus lobi-lobi yang tersedia.
Mungkin kita pernah mendengar muslim KTP. Ibarat wujud mahasiswa jadi-jadian mirip dengan muslim KTP.

By: Ketum IMM Sospol
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
KOMFAK SOSPOL