Minggu, 01 Maret 2009

Opinion

Respect for Humankind
Loving and respecting humanity merely because they are human is an expression respect for the Almighty Creator. The order side of the coin, loving and showing respect to only those who think the same as one thinks, is nothing but egotism and self-worship. More than this, it is irreverent and self conceited behavior to hurt the feelings of others who may not think exactly as we think, But who still are on the same main road with us in their thoughts and vision.
We dream of generation who will embrace and build the future upon interpreting problems not according to the sources or reasons from which they arise, but we respect to their ideals. If we are passengers who are on different path and using different strategies, but all heading for the same destination, then why should we defame the others who are with us on this sacred journey that has such a lofty goal? The circumstances that will shape humanity in the future, in particular current world affairs, are forcing us to act with utmost care and alertness; in fact, they are forcing us to do so to such an extent that any decision hastily taken for temporary measures will result in errors that have no compensation. The architects of the future are obliged to build their world on the foundations of what human love and respect stand for and what they appear to be.
With its many dimensions, the modern world has pushed humanity into many dark alleys. And we have come face to face with many problems, but they are extremely slippery and inconsistence, and in due proportion the outcomes are full of contradictions. There are thousands of Khidrs who are committed to fetch the water of life from mount Qaf for humanity, but none of them posses any sign of the elixir of immortality. Despite all the efforts of these peoples who are “apostles-to-be” respect for human soul has been severely challenged by real dangers.
We have struggled for many years in this way; nevertheless, we have not accomplished any synthesis that will constitute the pillars of tomorrow. This has indeed been impossible. Our feelings and thought have promised and brought about discrete things, and we were like musicians with a broken record and incomplete composition, swaying from one door to another, looking for a producer. When every individual denies all the other truths because of the portion of truth which they hold in their hands, and when they compel others to stick to their respective portions, will it ever be possible to have ideas line up one after another, to attain new syntheses, or to discover remedies that save? Can this ever be possible while some are harassing others with accusation of unbelief and sinning, or even physically assaulting them?
The present situation that we have reached today is very dramatic and thought-provoking. Those who walk side-by-side in the past are strangers to one another today. The truths and untruths has been shifted, in accordance with group preference, from their foundational pillars to rest on slippery rails. Under such chaotic conditions, it is impossible to discern either be loftiness of the goal or the differences f the means to attain it.
No matter how charming and enchanting the atmosphere that catches the eyes or fills the heart is there is no permission for us to forget the truth to which we are committed. We cannot stay alien toward each other while we are in the same camp. We do not have a monopoly of the good and the beautiful; therefore we cannot be allowed to wage a war with the passengers who are heading to the same destination but on a different path. We may have some criticism about the path and system of someone who thinks differently from us this is expression of mind that operate in different ways. But, if we are striving to reach the same horizon, we must at least respect the way other think. This is a prerequisite of heading in the same direction, Sharing the same belief, utilizing the same terminology, and finally and above all, of respecting the sacred meaning glorified by god almighty. Let us be respectful to humankind! Let us respect the exalted truths they possess. Let us love them because of their Almighty Creator. If we can raise a community upon this perspective, people will eventually recover and they will manage to compensate for whatever they have lost.
By: Fitrah

RESENSI




What Would Machiavelli Do?


Tentunya setiap orang mempunyai sebuah keinginan (ambition) di tengah-tengah sebuah kehidupan yang tidak kita ketahui akan bagaimana kelak nasib semua manusia. Ada yang ingin menjadi orang yang besar, berkuasa, kaya raya dan apapun itu. Keinginan-keinginan yang ingin dicapai itu tentunya harus melalui sebuah proses yang mana proses itu tidak semudah dan segampang yang kita bayangkan. Dalam mencapai keinginan itu kita harus memikirkan terlebih dahulu bagaimana strategi untuk mendapatkannya dan apakah cara atau strategi yang kita lakukan itu sudah baik dan sesuai dengan tuntunan agama atau kode etik bermasyarakat dewasa ini.
Buku berjudul What Whould Machiavelli Do? Ini, mengantarkan manusia agar manusia dapat melakukan segala cara dalam mendapatkan semua keinginan dan ambisinya, atau dapat diistilahkan sebagai tujuan menghalalkan sebuah cara. Kata-kata menghalalkan sebuah cara ketika kita simak secara seksama adalah kata-kata yang tidak cocok bagi sebagian besar manusia di dunia ini, terlebih seorang ustad atau ustadzah. Tapi sebagian manusia sudah banyak yang menggunakan cara ini dan sangat menjanjikan sebuah kesuksesan dan kekuasaan. Ketika kita bertanya apakah yang akan dilakukan oleh Machiavelli? Jawabannya adalah dia akan mengincar kemenangan. Bagaimana mendapatkannya? Hampir dalam semua hal adalah: apa pun yang perlu.titik.
Di dalam buku karangan Stanley Bing ini banyak memberikan contoh-contoh yang mengarah kepada pemikiran sang pemikir amoral modern pertama itu. Seorang manajer muda bernama Bob sedang menghadapi masalah dengan bawahannya. Beban kerja dalam perusahaan mereka cukup berat, dan mengingat hari jum’at sudah semakin dekat, jelaslah bahwa tugas-tugas yang wajib diselesaikan bisa jadi terpaksa mulur sampai akhir pekan. Sayangnya wakil Bob, Mary, sudah dijadwalkan akan mengambil cuti panjang pada hari Sabtu itu juga. Andaikata Mary pergi, hidup akan menjadi sangat sulit bagi Bob, sebab ada permainan golf yang sudah ia tunggu-tunggu sejak akhir pekan yang lalu.
“Nggak tahulah saya,” desah Bob. “Saya betul-betul stress berat nih. Kalau saya ga bisa memasukkan delapan belas, tekanan minggu depan mungkin nggak sanggup sayas tanggung lagi. Tapi kalau ga begini, si Mary kasihan.”
Bos Bob, Ned, sudah lama sekali mendapatkan Marcedes pertamanya-itu pun bukan Baby Benz 350, melainkan sebuah seri 500 yang melebihi lebar jalur jalan itu dan yang menggerus aspal jika lari pada kecepatan 75 mil per jam. Ned dengan sigap dan lumayan blak-blakan berusaha menanamkan inspirasi ke dalam benak Bob: “Bob, coba saya Bantu kamu. Jawablah pertanyaan ini. Andaikata Maschiavelli ada di sini sekarang, apa yang ia lakukan?”
Bob berfikir sejenak, dan kemudian, dengan kerut-merut menghilang dan wajah berubah total menjadi ceria seperti sedia kala, ia memberikan jawaban yang menyentak: “Dia akan berpura-pura lupa tentang jadwal liburan Mary, melemparkan setumpuk pekerjaan ke atas punggungnya pada menit terakhir, dan menunggu apakah Mary masih nekad dan punya nyali untuk meninggalkankantor dengan kondisi seperti ini. Tentu saja, mana mungkin dia berani.”
Akhirnya semua berjalan dengan sempurna-Mary menjadwalkan kembali liburannya. Bob bisa kembali bermain golf (sekalipun dia beberapa kali dibuat jengkel oleh telepon selulernya yang memanggil-manggil selama dia di lapangan), dan bos Bob bahagia sebab semua pekerjaan rampung sementara dia sendiri asyik main ski di Gstaad.
Ini adalah sebuah contoh bagaimana pemikiran-pemikiran sang pemikir amoral pertama itu digunakan orang-orang pada umumnya. Dan masih banyak lagi contoh yang mungkin pernah kita lakukan di kehidupan kita sehari-hari.
Di dalam buku karangan Stanlay Bing ini, hampir di setiap tulisan memberikan gambaran pemikiran-pemikiran Machiavelli yang dirasa sangat kontroversial di mata manusia.
Di negara seperti Indonesia mungkin banyak sekali kita dapatkan orang –orang yang seperti Machiavelli, atau bisa disebut Machiavellian. Koruptor-koruptor negara yang menghabiskan sekian trilliun uang negara dapat disebut Machiavellian, karena hampir semua tindakannya mengarah kearah sang pemikir amoral itu. menghalalkan segala cara untuk dapat hidup mewah tidak mementingkan orang-orang miskin yang tidak dapat hidup layak, atau dalam arti lain bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Kita pun secara tidak langsung sering melakukan perbuatan menghalalkan segala cara. Ketika seorang politikus kejam ingin dipuji oleh lawan politiknya, seorang senior sudah ingin dikatakan sebagai sang penguasa diatas para juniornya dan lain sebagainya, maka mereka biasanya secara langsung maupun tidak langsung melakukan sebuah tindakan amoral, menghalalkan segala cara agar dapat menduduki lawan politiknya maupun para junior-juniornya. Di tingkatan SD, SMP, SMA maupun di perguruan tinggi.Di dalam buku What Would Machiavelli Do? Ini, memberikan 45 hal apa saja yang akan dilakukan oleh Machiavelli. Selamat membaca!

Cukup dibaca, tapi jangan ditiru.....!


Ketua Umum IMM Sospol